Kamis, 24 September 2015

monggo monggo Guevedoces: Penis Tumbuh di usia 12 tahun -lamasekaliperginya -lamasekaliperginya


Pada umumnya, perubahan fisik yang terjadi selama masa pubertas merupakan proses normal pada setiap manusia. Tapi hal ini rupanya tak berlaku di Salinas, sebuah desa terpencil yang berada di Republik Dominika sebelah barat daya. Perubahan fisik yang dialami penduduk desa ini selama masa pubertas terbilang ekstrim. Bagi beberapa anak lelaki yang tinggal di desa ini, masa pubertas adalah masa di saat simbol kejantanan mereka tumbuh. Banyak anak-anak yang sebelumnya terlahir tanpa alat kelamin pria, hingga dibesarkan sebagai anak perempuan, tiba-tiba berubah menjadi lelaki di masa remaja mereka. Meski demikian, fenomena unik yang telah akrab dengan sebagian besar penduduk desa Salinas ini, yang mereka sebut dengan istilah Guevedoces (tumbuhnya penis di usia 12 tahun), sudah tak lagi asing bagi mereka.

Kondisi ini ternyata merupakan kelainan genetik yang langka terjadi dalam pertumbuhan hidup seorang manusia, dimana terjadinya kehilangan enzim semasa bayi masih berada dalam kandungan. Enzim yang dimaksud adalah 5-alpha-reductase, yang secara normal seharusnya mampu mengubah hormon testosteron menjadi dihydro-testosteron (atau DHT) pada bayi lelaki, yang nantinya akan mengubah tuberkulum menjadi penis. Tanpa kehadiran DHT, kelamin akan lebih menyerupai klotoris yang terdapat pada tubuh wanita. Tapi pada kebanyakan bayi yang lahir dari wanita yang tinggal di Salinas, enzim tersebut menghilang seluruhnya.

Pada kondisi normal, bayi yang masih berada dalam kandungan akan memiliki sepasang kromosom X jika nantinya terlahir sebagai perempuan dan satu set kromosom XY jika terlahir sebagai anak laki-laki. Setelah memasuki delapan minggu masa pembuahan, barulah hormon seks akan hadir. Untuk bayi laki-laki, kromosom Y akan menginstruksikan gonad untuk berkembang menjadi testis dan mengirimkan testosteron untuk struktur yang disebut tuberkulum, yang kemudian akan diubah menjadi DHT agar penis dapat terbentuk. Untuk bayi perempuan, dengan tak adanya kehadiran DHT, maka tuberkulum akan berkembang menjadi klitoris.

Namun dikarenakan bayi-bayi yang masih memiliki tuberkulum utuh dan tak menampakkan adanya testis, maka seringkali orang tua menjadi keliru dan menganggapnya sebagai bayi perempuan. Hal ini akan berlangsung hingga masa pubertas, dimana organ reproduksi laki-laki akhirnya terbentuk. Pada masa ini suara mereka pun akan semakin berat, dan penis pada akhirnya tumbuh.

Sekitar 1 dari setiap 90 anak-anak di Salinas terlahir guevedoces, dan perubahan untuk mereka menjadi seorang laki-laki (biasanya berlangsung antara usia 7 hingga 12 tahun) dapat pula terjadi secara lambat hingga mereka beranjak dewasa. Kebanyakan guevedoces memiliki sedikit rambut pada wajah mereka dan kelenjar prostat yang lebih kecil dari kebanyakan pria. Namun demikian, kondisi lanka ini ahirnya menjadi hal biasa dalam kehidupan masyarakat desa Salinas, bahkan beberapa dari guevedoces ini masih memakai nama perempuan mereka, seperti Catherine, seorang guevadoce muda yang baru-baru ini menjadi anak laki-laki.

Johnny, kini berusia 24 tahun, merupakan salah satu dari penduduk desa Salinas yang juga awalnya dibesarkan sebagai anak perempuan. Pada awalnya ia diberi nama Feleticia oleh kedua orang tuanya. "Saya ingat, dulu saya mengenakan gaun merah semasa masih kecil," katanya. "Saya dilahirkan di rumah, bukan di rumah sakit. Mereka tak tahu apa jenis kelamin saya." Tapi Johnny menegaskan bahwa ia selalu merasa sebagai anak lelaki dalam hatinya. "Saya tak pernah menyukai berpakaian sebagai seorang anak perempuan. Dan ketika saya dibelikan mainan anak perempuan, semuanya tak pernah saya mainkan. Yang saya selalu inginkan pada waktu itu adalah bermain dengan anak laki-laki."


Jadi, ketika organ reproduksi pria akhirnya tumbuh di usianya yang ke 7 tahun, Johnny merasa sangat lega. "Saya senang ketika akhirnya hidup saya berubah," katanya.

Meskipun kondisi langka ini sebenarnya sudah lama sekali terjadi di Salinas, tapi laporan resmi yang tercatat, guevedoces baru ditemukan sekitar tahun 1970-an, oleh pakar endokrinologi, Dr. Julianne Imperato dari Universitas Cornell di New York. Dr. Julianne saat itu sengaja melakukan perjalanan ke Republik Dominika setelah mendengar rumor aneh yang menyebut adanya seorang anak gadis yang berubah menjadi anak lai-laki, hingga terbukti bahwa semuanya itu benar. Sejak itu, berbagai penelitian pun akhirnya dilakukan untuk mempelajari mengenai kondisi langka ini, yang menurut para ilmuwan, sesungguhnya semua hal yang terjadi ini adalah wajar. Anak-anak guevedoces, yang menurut istilah medis saat ini disebut sebagai pseudohermafrodit, akhirnya dibuat serangkaian dokumentasi film oleh BBC2, yang diberi judul Countdown to Life: The Extraordinary Making of You, Against the Odds.

Menurut Dr Michael Mosley, pemandu acara BBC, guevedoces dikenal juga dengan istilah 'machihembras', yang berarti 'awalnya perempuan, kemudian laki-laki'. "Ketika anak-anak ini lahir, mereka terlihat seperti seorang perempuan karebna tak adanya testis, hingga apa yang ada dianggap sebagai vagina," jelasnya. "Namun ketika mereka memasuki masa pubertas, barulah penis mereka tumbuh dan testis pun akhirnya nampak."


"Saya benci saat memasuki masa pubertas, suara pecah, suasana hati tak menentu, hingga ditertawakan kakak saya," kenangnya. "Tapi ternyata apa yang saya alami itu lebih mudah dibanding apa yang harus dialami oleh Johnny."

Kondisi langka yang mirip dengan apa yang dialami oleh penduduk Salinas ini ternyata dialami juga oleh penduduk desa Sambian di Papua Nugini, dan dikenal dengan sebutan 'turnims', yang berarti 'diharapkan menjadi laki-laki'. Sayangnya penduduk desa ini lebih menganggap anak-anak ini sebagai anak lelaki yang cacat, hingga mereka tertolak dalam keluarga karena dianggap mempermalukan nama keluarga. Di sisi lain, penduduk Salinas justru lebih terbuka dan menerima kehadiran anak-anak ini, bahkan sebuah pesta perayaan pun sengaja diadakan di saat perubahan fisik dari anak perempuan menjadi anak lelaki itu terjadi pada akhirnya.

Ditemukannya kasus guevedoces rupanya sangat membantu banyak orang di seluruh dunia. Ketika kondisi ini akhirnya dipelajari, perusahaan farmasi raksasa, Merck, akhirnya menciptakan obat yang kini dikenal dengan nama finastride, yang berguna untuk mem-blokir enzim 5-alpha-reductase. "Sekarang obat ini banyak digunakan untuk mengobati pembesaran prostat jinak dan mengatasi kebotakan pada pria," kata Dr Mosley. "Akhirnya, saya yakin, akan ada banyak kaum pria yang merasa bersyukur dengan adanya kasus langka ini."


Sabtu, 19 September 2015

monggo monggo Desa Tanpa Kaum Pria di Kenya -lamasekaliperginya -lamasekaliperginya


Dalam pengertian harfiah, Umoja yang berarti 'tak bertuan' dalam bahasa Kenya, merupakan sebuah tempat perlindungan matriarkal dimana tak ada seorang pria pun yang diijinkan memasukinya. Desa ini berdiri sekitar 25 tahun yang lalu ini diprakarsai oleh seorang wanita Kenya bernama Rebecca Lolosoli, dengan maksud awal untuk menjadikannya sebuah tempat perlindungan yang aman bagi para wanita serta anak-anak perempuan yang ingin melarikan diri dari kekerasan yang kerap terjadi dalam masyarakat patriarkal pada umumnya di Samburu, wilayah Kenya bagian utara.

Rebecca, yang juga merupakan anggota suku Samburu, kini menjabat sebagai ibu pimpinan kepala 'Desa Wanita Umoja Usau'. Sejak kecil ia telah banyak menyaksikan banyak tindak kekerasan yang terjadi terhadap kaum perempuan, hingga membuat ia dapat menarik kesimpulan akan banyaknya tradisi adat yang sangat merendahkan kaum perempuan dalam suku Samburu, termasuk di dalamnya tindak perkosaan, kawin paksa dan sunat.

Sikap Rebecca yang menentang semua hal itu jelas menimbulkan banyak pertentangan di desanya. Dan semuanya memuncak kala beberapa wanita diperkosa oleh oknum tentara Inggris yang tengah melakukan pelatihan di dekat desanya. Hal tersebut diperparah dengan sikap pria desa yang justru ikut memukuli para wanita tersebut, sementara para suami tak sedikit pun melakukan protes atas apa yang menimpa para istri mereka. Jadilah pada sekitar tahun 1990 Rebeca memulai sebuah eksodus bersama beberapa wanita lainnya dan mendirikan sebuah desa yang kini mereka tempati.


"Selama lebih dari 50 tahun, tentara Inggris berlatih di dekat desa kami," katanya pada Satya Magazine. "Mereka dengan seragam warna hijau seringkali bersembunyi diantara dedaunan dan pepohonan, lalu ketika datang wanita yang hendak mencari kayu bakar, para prajurit itu akan menyergap dan memperkosa wanita tersebut sambil tertawa seolah itu adalah sebuah permainan bagi mereka. Para pria di desa lebih suka jika istri mereka pergi meninggalkan rumah sambil membawa anak-anak. Di rumah, para pria ini meramu changaa (sejenis minuman beralkohol) untuk dijual oleh istri mereka, dan mereka tahu bahwa hal ini ilegal. Tak heran jika banyak wanita yang akhirnya dipenjara dan terpaksa meninggalkan anak-anak mereka tanpa pengasuh, bahkan tak jarang anak-anak ini pun akhirnya di mangsa hyena."

"Suami saya sendiri sebenarnya tak seburuk itu," tambahnya. "Kami menikah ketika saya masih berusia 18 tahun, dan dia membayar mahar sebanyak 17 ekor sapi. Tapi ada empat orang di desa yang tak menyukai saya ketika saya mulai ikut berjualan, mereka bahkan sempat memukuli dan merampas uang saya. Lalu ketika saya mulai membicarakan tentang niatan untuk membantu para wanita korban perkosaan, dan suami pun mulai berhenti berjualan, orang-orang kembali memukuli saya hingga parah. Saat saya sembuh dan hendak meninggalkan rumah sakit, orang tua sebenarnya menasehati untuk saya kembali ke suami saya. Tapi setelah saya mendengar tentang apa yang dilakukan oleh orang-orang di kampung selama saya terbaring di rumah sakit, saya akhirnya memutuskan untuk pergi dari kampung, karena jika tidak, bukan tak mungkin bila lain waktu saya bahkan bisa terbunuh."



Selanjutnya Rebecca bersama sekitar 16 orang wanita korban kekerasan lainnya sepakat untuk membentuk komunitas perlindungan bersama. Mereka kemudian mendirikan tenda di sebuah padang rumput kering yang jarang didatangi orang. Umoja, yang dalam bahasa Swahili berarti 'persatuan' akhirnya resmi berdiri. Kini desa tersebut sudah lebih berkembang dan mandiri. Para wanita di desa tersebut lebih menyak menghabiskan waktu dengan membuat perhiasan atau kerajinan tangan lainnya dan menjadikan desa tersebut menjadi salah satu objek wisata hingga dapat menghasilkan uang bagi kebutuhan hidup para wanita beserta anak-anak yang juga tinggal di desa tersebut. Di samping itu, mereka juga mengumpulkan dana untuk pemeliharaan anak perempuan yang lari dari tindak kekerasan atau bahkan dibuang oleh orang tua mereka karena kehamilan yang tak di inginkan atau hamil diluar nikah.

Meskipun wanita-wanita Umoja ini berusaha keras untuk mandiri, tapi ternyata semua tak semudah yang mereka bayangkan. Rebecca menjelaskan bahwa pada awalnya mereka memulai dengan membuka toko ponsel di mana mereka juga menjual makanan berbahan dasar jagung serta manisan, tapi ide tersebut tak bisa berkembang. Setelah dua tahun, mereka harus menghadapi kenyataan bahwa usaha tersebut gagal. Selanjutnya mereka kemudian mencoba untuk menjual artefak tradisional kepada wisatawan yang datang berkunjung. Kini usaha mereka tersebut sudah mulai diakui oleh pihak berwenang dari Kenyan Wildlife Services yang juga mengajak beberapa wanita Umoja untuk mengikuti pelatihan wisata pendidikan di Maasai Mara National Reserve, agar mereka dapat lebih mengembangkan apa saja produk-produk wisata yang kelak bisa ditawarkan di desanya.


"Segera setelah para wanita itu kembali, kami lalu membuat sebuah proyek ambisius dari budaya manyatta dan perkemahan, sebuah proyek yang keberhasilannya sangat bergantung pada usaha yang kami lakukan," kata Rebecca. "Kami memutuskan untuk menjual manik-manik pada wisatawan yang datang ke desa kami sekaligus menjadikan desa kami sebagai sebuah obyek wisata. Berkat usah tersebut kini kami sudah mampu mendirikan sekolah yang tak hanya diperuntukkan bagi anak-anak dari Umoja saja, tapi juga menerima anak-anak dari desa sekitar."

Begitu terdengar para wanita Umoja sudah lebih berhasil meningkatkan taraf kehidupan mereka, kembali berbagai persoalan harus mereka hadapi terutama dari orang-orang yang merasa iri atas keberhasilan mereka. "Beberapa orang dari desa terdekat memblokir jalan masuk ke desa kami agar tak ada wisatawan yang dapat mengunjungi kami," kenang Rebecca. "Bahkan setelah itu sekitar 30 prajurit ikut mengusir wisatawan yang bermaksud mendatangi desa kami dan membuat seolah desa kami merupakan desa yang tak layak dikunjungi." Akhirnya para wanita Umoja bersepakat untuk mengumpulkan uang agar dapat membeli tanah untuk mereka jadikan jalan masuk ke desa. Setelah menabung selama berbulan-bulan, akhirnya terkumpul sejumlah 200.000 shilling untuk dijadikan sebagai uang muka. Hasil kerja wanita Umoja pun akhirnya mulai mendatangkan jalan keluar, bahkan para pria, yang tentu saja ikut berusaha menghentikan niat wanita Umoja untuk mencapai harapannya juga berhasil diredam dengan sejumlah kesepakatan.


Sejak desa Umoja didirikan, Rebecca sudah berulang kali terpilih sebagai ketua, dan hingga saat ini, ia masih memegang jabatan tersebut. Ia pun tercatat sebagai ketua organisasi lokal Maendeleo Ya Wanawake Organisasi (MYWO), yaitu sebuah kelompok nirlaba yang bekerja dalam usahanya untuk meningkatkan taraf hidup wanita Kenya. Pada tahun 2010 lalu, Rebecca pun sempat menerima penghargaan berupa Global Leadership Award dari Vital Voices, yaitu sebuah organisasi nirlaba lainnya yang berfokus pada kaum wanita dan hak asasi manusia. Memasuki usianya yang ke-53 tahun, Rebecca tercatat telah berhasil menjadi seorang pengusaha yang sukses dan masih tetap berjuang tanpa kenal lelah untuk menentang segala macam bentuk penindasan terhadap kaum perempuan di Kenya.

Meski secara keseluruhan sudah tercapai, Rebecca mengatakan bahwa kendala terbesar bagi mereka di Umoja adalah kaum pria. "Para pria sangat iri atas keberhasilan yang telah kami capai hingga saat ini. Samburu secara budaya memang menganut paham patriarkal, di mana kaum perempuan biasanya hanya tinggal di rumah bersama anak-anak mereka. Kaum wanita tersebut biasanya memang tak memiliki kekuasaan untuk mengambil keputusan atau hak yang sama dengan kaum pria. Kaum pria intelektual Samburu pun bahkan hingga saat ini masih menentang atas apa yang kami lakukan di Umoja, tapi kami takkan tinggal diam dan akan terus berusaha untuk tetap memperjuangkan segala hak hidup kami. Anggota parlemen di daerah kami bahkan masih tak percaya bahwa kami kini telah memiliki website pribadi dan mereka sungguh marah atas apa yang kami lakukan tersebut!"


Namun demikian, Umoja bisa dikatakan sebagai sebuah desa matriarkal yang sukses, dimana pemberdayaan kaum perempuan kini telah menjadi contoh bahkan bagi kabupeten atau desa lainnya untuk memulai sebuah desa yang eksklusif dan mandiri. Seluruh warga di Umoja saling bahu membahu untuk menghilangkan budaya negatif yang sangat merugikan kaum perempuan, termasuk di dalamnya segala macam tindak kekerasan.


foto: FlickRiver, YouTube, Wikipedia, VitalVoices, UmojaWomen
video: YouTube
sumber: OddityCentral

Selasa, 08 September 2015

monggo monggo Grup Idola Jepang yang mendekati pintu Surga -lamasekaliperginya -lamasekaliperginya


Berbeda dengan kelompok girl band pada umumnya, KBG84 merupakan girl band Jepang yang baru terbentuk dengan beranggotakan sekitar 33 orang lanjut usia yang tak hanya sekedar pandai menyanyi, tapi juga masih lincah dalam menari. Dan yang lebih mengagumkan, rata-rata usia dari anggota KBG84 adalah 84 tahun, dimana anggota tertua, Haru Yamashiro, sudah memasuki usia 97 tahun!

Girl band yang baru terbentuk ini bermarkas di pulau terpencil Kohama di Okinawa, Jepang, dan secara mengejutkan kehadiran mereka dalam industri hiburan Jepang langsung menuai sukses sehingga para anggotanya pun seakan tak percaya dengan keberhasilan mereka ini. Single mereka yang berjudul Come on and Dance, Kohama Island, langsung berhasil mencapai puncak tangga lagu, dan mereka baru saja menyelesaikan tur keliling Jepang yang juga meraih kesuksesan.

"Ketika saya pertama kali mendengar seseorang memanggil kita 'idola', saya pikir idola berarti seseorang yang telah menjalani kehidupan yang panjang dan berada di pintu surga," kata diva berusia 92 tahun, Tomi Menaka. "Tapi di Tokyo katanya idola itu artinya penghibur - tapi itu pun melegakan karena saya pikir itu berarti saya sedang dalam perjalanan ke surga."

"Kami merasa seperti bintang di Tokyo," tambah Hideko Kedamori yang berusia 86 tahun. "Semua penonton tersenyum lebar, seakan memberi tenaga bagi kami untuk menyanyi lebih energik. Kami beruntung telah dilahirkan di Kohama. Lirik lagu kami pun mengenai pulau dan alam - tentang paus yang menyemburkan air laut atau lumba-lumba yang menari."

Dan terlepas dari lirik lagu yang mereka nyanyikan, wanita-wanita tua ini pun ternyata masih lucu saat menyanyikannya. Energi dan antusiasme mereka sangatlah menakjubkan, mengingat usia mereka memang sudah tak lagi bisa dikatakan muda. Meski memang rata-rata usia mereka adalah 84 tahun, tak menutup kesempatan untuk mereka yang berusia sekitar 80 tahun untuk ikut bergabung. Nama KBG84 sendiri memang merupakan plesetan dari girl band asal Jepang yang sudah mendunia, AKB48. Huruf "K" mengacu pada Kohamajima, atau pulau Kohama. Huruf "B" untuk oBachan (artinya 'old lady' atau 'wanita tua'), sedangkan "G" diambil dari Gasshodan (artinya 'choir' atau 'paduan suara'). Sementara jika angka '48' dalam AKB48 lebih mengacu pada jumlah anggota, maka angka '84' di KBG84 lebih mengacu pada usia rata-rata dari para anggota 'grannies' band ini.


Tak hanya menuai kesuksesan, kehadiran para nenek ini pun seakan membuktikan bahwa pulau Okinawa merupakan salah satu tempat di dunia yang memiliki harapan hidup yang sangat tinggi bagi para penduduknya, hingga kerap disebut mendekati impian manusia akan surga. Padahal jika dilihat sepintas, diet yang mereka jalani pada umunya terdiri dari ubi jalar lokal dan sayuran, dan praktis tak ada tambahan gula. Menaka mengatakan bahwa untuk urusan diet dia tidak terlalu peduli, tapi ia selalu melakukan pekerjaan rumah tangga untuk menjaga kebugaran tubuhnya.

"Saya menjaga kesehatan diri saya dengan membersihkan rumah, mengepel lantai, dan memasak nasi," katanya. "Saya berlindung di tempat teduh saat cuaca terlalu panas. Saya tak ingin kulit saya terbakar sinar matahari. Saya harus selalu merawat kulit saya karena dalam hati saya merasa masih muda !"


Namun bagaimanapun juga tubuh para nenek ini memang sudah tak bisa selalu mengikuti semangat dalam diri mereka masing-masing. Itulah sebabnya di belakang panggung pentas mereka selalu terdapat tanda larangan masuk yang terpampang di pintu, dimana hal ini sengaja dibuat untuk para personil memonitor tekanan darah mereka, lengkap dengan defibrillator yang juga selalu stand-by.

KBG84 terbentuk atas gagasan musisi Jepang Kikuo Tsuchida, yang memang sudah tinggal menetap di Kohama selama sekitar 20 tahun terakhir. Girl band ini baru-baru ini juga sudah menandatangani kontrak rekaman, termasuk tur keliling, terutama untuk para penonton yang berusia setengah baya hingga usia lanjut. Para anggota sangat menikmati meski selalu diikuti oleh kru kamera, dan meskipun kini mereka sudah menjadi selebritis, tapi tak membuat mereka melupakan waktu luang untuk bercengkrama sambil menikmati secangkir teh.

"Kami masih ingin melakukan hal yang biasa kami lakukan, yaitu membicarakan gosip tentang kehidupan," kata Kedamori. "Kami berjuang bersama seperti yang selalu kami lakukan sejak masih anak-anak. Semua untuk satu dan satu untuk semua."