Sabtu, 18 Juni 2016

monggo monggo Di Meksiko, Spiderman ternyata bergelar Profesor -lamasekaliperginya -lamasekaliperginya


Jika Anda bertanya mengapa tak ada sosok Spiderman hadir bergabung dalam The Avengers dalam memerangi kejahatan, mungkin inilah jawabannya, ... karena saat ini Spiderman rupanya lebih memilih untuk mengajar ilmu komputer di Universitas Otonomi Nasional Mexico, di Ciudad de Mexico.

Semua ini rupanya sudah dimulai sejak tahun 2002, ketika film blockbuster Spiderman, yang diperankan oleh aktor Tobey Maguire, mulai tayang di Meksiko. Moises Vazquez Reyes yang saat itu masih berusia 12 tahun langsung merasa jatuh cinta pada sosok superhero Marvel ini. Bahkan ia pun mulai membuat kostum Spiderman untuk dirinya sendiri, setelah sebelumnya merasa gagal untuk menemukan sosok atau figur impiannya. Dengan berbekal tutorial online sebagai acuan, tetap saja hal ini bukanlah sesuatu hal yang mudah bagi seorang anak muda saat itu. Namun tekad serta keinginannya yang tinggi untuk meraih impiannya memiliki kostum Spiderman yang terbaik dan sesuai dengan impiannya ternyata baru bisa terwujud di sekitar tahun 2014 lalu, tahun di mana ia lebih banyak lagi meluangkan waktunya untuk membaca komik-komik tentang karakter favoritnya tersebut. Hingga suatu hari ia terkesan saat membaca komik Amazing Spider – Man # 661, dimana dalam komik tersebut Spiderman tampil sebagai guru di Avengers Academy. Ia pun akhirnya berpikir, "Bukan sebuah hal yang buruk, bahkan bukankah tidak lebih hebat jika Spiderman mengajarkan ilmu komputer?"

Dalam dua tahun terakhir, Moises memang telah mengajar di Universitas Otonomi Nasional Mexico. Di universitas tersebut, ia mengajarkan berbagai mata pelajaran seperti logika komputer, aljabar dan bahasa pemrograman. Dia pun memang tidak selalu memakai kostum Spiderman, hanya di saat para siswa menghadapi ujian atau ketika ia ingin mengajarkan suatu bahan pelajaran baru yang menuntut keseriusan dari para siswa, kostum Spiderman akan ia kenakan dengan harapan agar para siswa tak terlalu tegang dan dapat mengurangi tingkat stress dari pelajaran yang diberikannya.


Memang tak mudah bagi Moises, karena ketika pertama kali ia mengutarakan keinginannya untuk memakai kostum Spiderman saat mengajar, keluarga dan teman-temannya justru mengkhawatirkan bahwa hal itu akan membahayakan karirnya, tetapi ternyata efeknya saat ini justru sangat berlawanan. Dan memang para siswa serta guru-guru lainnya terkejut pada awalnya, tapi kini mereka semua justru tersenyum bahkan menyambut kehadirannya dengan tangan terbuka. "SpideMoy" - demikan julukan yang diberikan bagi Moises - kini telah menjadi simbol bagi Fakultas Ilmu Komputer di Universitas tersebut, dan banyak siswa yang lebih antusias untuk bisa mendapat pelajaran di bawah bimbingannya. Para siswa beranggapan, tak semua orang bisa mendapat pendidikan yang diajarkan oleh Spiderman di perguruan tinggi.

"Saya hanya melakukan pekerjaan seperti apa yang dilakukan oleh para pengajar lainnya di dunia, dan bagi saya pelajaran yang diberikan tidaklah menjadi lebih baik jika hanya dilihat dari setelah jas yang dikenakan pengajar. Saya hanya berusaha untuk dapat menjadi pengajar yang jujur dan berdikasi, dan saya hanya ingin membuat ruangan kelas menjadi tempat yang lebih menyenangkan," demikian penjelasan SpideMoy tenyang metode pangajarannya yang terbilang unik.


Dari foto dan video yang kini telah tersebar luas di dunia maya, terlihat jelas bahwa Moises tidak mengenakan kostum Spiderman hanya saat ia di lingkungan universitas. Kostum Spiderman tersebut tenyata telah ia kenakan sejak berangkat dari rumah, demikian pula saat ia naik kereta bawah tanah untuk menuju tempatnya bekerja. Ketika orang-orang mengetahui bahwa Spiderman yang satu ini adalah seorang profesor yang mengajar di universitas setempat, kebanyakan masyarakat merasa terkejut, karena umunya mereka lebih mengira kostum tersebut hanya untuk adegan film.


foto: OddityCentral, Marvel

Rabu, 15 Juni 2016

monggo monggo Jana Jihad: Reporter Amatir Termuda dari Palestina -lamasekaliperginya -lamasekaliperginya


Di saat anak-anak berusia sekitar 10 tahun lainnya sibuk bermain dan menikmati masa kecil mereka, gadis kecil yang dikenal dengan nama Janna Jihad ini justru malah lebih mempertaruhkan resiko hidupnya dengan melaporkan secara amatir mengenai konflik yang terjadi antara bangsanya, Palestina dengan pasukan Israel di daerah Tepi Barat. Hal ini dia lakukan dengan harapan agar dunia lebih peduli akan nasib yang tengah dihadapi oleh bangsa dan keluarganya.

Menurut penuturan seorang warga Nabi Saleh, demikian nama desa kecil di sebelah utara Ramallah, daerah Tepi Barat, sejak kecil Janna memang telah menjadi saksi dari tragedi perang yang terjadi antara bangsanya, Palestina dengan pihak Israel. Dari ibunya, Nawal, di dapat keterangan bahwa Janna sempat mengalami trauma ketika salah seorang temannya ditembak mati oleh tentara Israel. "Anak lelaki itu memang jauh lebih tua dari Janna, dan karena baik serta ramah, Janna akhirnya dekat dengannya. Hingga saat Janna melihat darah anak itu di tanah, ia pun menjadi panik." Sejak kejadian itu, Janna lebih suka menuliskan perasaan serta frustasinya dalam sebuah jurnal yang tersimpan rapi setiap malamnya, hingga kematian dua kerabatnya, yaitu sepupunya, Mustafa Tamimi dan seorang pamannya yang lain, Rushdie Tamimi, akhirnya menginspirasi Janna untuk lebih terlibat mengungkap ketidakadilan yang dialami orang-orang di desanya.

Karir jurnalis Janna dimulai sejak ia berusia tujuh tahun, Saat itu dengan menggunakan iPhone ibunya, ia mulai merekam aksi protes yang dilakukan oleh penduduk setempat bersama dengan aktivis perdamaian internasional, serta reaksi yang diberikan oleh pihak tentara Israel. Meskipun wartawan profesional seringkali ada dalam keadaan seperti itu, tapi Janna menganggap mereka tidak selalu melaporkan keseluruhan peristiwa yang tengah terjadi, hingga dia menganggap bahwa merupakan tanggung jawabnya juga untuk menunjukkna pada dunia apa sesungguhnya yang tengah terjadi melalui keseluruhan gambar yang berhasil dia dapat. Untuk itu, Janna sengaja memposting videonya dalam beberapa platform media sosial, seperti YouTube, Facebook dan SnapChat. "Saya ingin dunia mengetahui bahwa bangsa kami bukanlah teroris dan agar dunia mengetahui aksi kekerasan militer yang dilakukan pada kami," katanya pada The Arab Weekly. Halaman Facebooknya sendiri hingga kini telah mendapat lebih dari 80.000 likes.


Sementara itu, sang ibu sendiri mengaku bangga akan apa yang dilakukan oleh Janna, sekaligus juga mengkhawatirkan akan keselamatannya. "Saya bangga dengan putri saya karena meskipun masih sebagai anak kecil, tapi ia telah berhasil untuk mengirimkan pesannya pada dunia. Dia berbagi ketakutannya, apa yang dirasakannya, dan tak ketinggalan juga masalah sekolahnya," kata Nawal kepada Al Jazeera. "Tapi sesungguhnya saya juga khawatir dan takut untuknya, terlebih ketika tentara Israel datang di tengah malam dan melemparkan gas air mata di sekitar tempat tinggal kami hingga kami terbangun di tengah kepulan asap ... dimana mereka menyerang orang-orang yang dituduh melakukan perlawanan terhadap pendudukan Israel."

Sedangkan paman gadis itu, Bilal, mengerti akan kekhawatiran Nawal sebagai seorang ibu bagi Janna, tetapi ia juga mengerti bahwa anak-anak Palestina sesungguhnya tidak punya pilihan. "Memang dia harusnya bermain dan belajar sebagaimana layaknya anak-anak lainnya, tetapi dalam hidup kita saat ini itu bukanlah pilihan," katanya. "Kita harus mengajari anak-anak kita untuk tidak menerima penghinaan dan tidak bersikap pengecut. Kami saat init memang berada di bawah pendudukan. Kami tidak bisa untuk mengajari anak-anak kita untuk diam, karena mereka pun harus berjuang untuk kemerdekaan mereka."

Setelah pesannya mulai tersebar di dunia maya sekitar tahun 2014 lalu, dan kini mulai dipuji sebagai salah satu wartawan amatir termuda di dunia, Janna pun memperluas pekerjaannya dengan melakukan perjalanan bersama ibunya ke tempat-tempat seperti Yerusalem, Hebron, Nablus dan Yordania untuk membuat laporan video serta mempostingnya langsung secara online.


Janna mengatakan bahwa saat ini impian terbesarnya adalah ingin mendalami dunia jurnalisme profesional di Harvard agar kelak nisa mendapatkan pekerjaan di CNN atau FOX News karena "mereka tidak banyak membuat laporan tentang Palestina, dan saya ingin dunia lebih mengetahui akan apa sesungguhnya yang terjadi di Palestina."

Melihat Janna di depan kamera berbicara tentang konflik Palestina - Israel serta kekejaman yang terjadi di Tepi Barat setiap harinya, akan membuat kita seakan melihat dia bukanlah seorang gadis kecil yang masih berusia 10 tahun. Namun bagaimana pun juga seharusnya dia lebih bisa menikmati masa kecilnya. Dan ketika ditanya mengenai seperti apakah idealnya dunia dalam pikirannya, Janna mengatakan, "Saya ingin menjadikannya berwarna pink."


foto: Facebook